Rabu, 13 Juni 2012

Kerinci is an Endangered Culture (Kerinci adalah budaya yang hampir punah)


oleh Prof.Dr. R. Soepomo, SH (alm) pada tahun 1952: “Apakah dan sampai dimanakah hukum adat bisa dipakai untuk maksud ini (penyesuaian diri dengan kekuatan-kekuatan dari dunia modern) dan sampai dimanakah hukum adat mampu memperbarui kembali dirinya sendiri”

“Adat bersendi sarak, sarak bersendi kitabullah.” Itulah kata-kata yang sering disampaikan ketika seorang pemuka adat dalam suatu upacara adat di Kabupaten Kerinci. Melihat kedekatan kekerabatan antara kerinci dan minangkabau, penulis mencoba menelisik dari sejarah minangkabau dari manakah asal-usul kalimat ini.
Kalimat ini lahir dari suatu kompromi antara dua kubu filsafat yang berbeda. Sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau mengatur kehidupan masyarakatnya berdasarkan adat Minangkabau. Dasar filsafah adat Miangkabau adalah “Nan satitiek(setitik) jadikan lauik (laut), nan sakapa(sekepal) jadikan gunuang, alam takambang jadikan guru” (Lihat tulisan Mr. Nasroen). Singkatnya dasar adat Miangkabau adalah hukum alam yang terhampar dalam setiap segi kehidupan kita.
Sedangkan agama Islam yang mendasarkan ajarannya kepada kitab Alquran sebagai petunjuk Tuhan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pertentangan keduanya telah melahirkan persengketaan yang mendalam antara kaum adat dan kaum agama. Setelah melalui peperangan dan tindakan kekerasan, akhirnya para yang bersengketa mencari solusi damai dengan rumusan “Adat bersendi sarak, sarak bersendi Kitabulah. Ini adalah contoh win-win solution. Kaum adat tidak perlu mengubah ajarannya, demikian juga dengan kaum agama. Mengapa ? Menurut ajaran agama Islam, alam terkembang adalah ciptaan Tuhan. Adat Minangkabau menjadikan alam terkembang sebagai dasar perumusan hukum-hukum adat. Dengan demikian tidak seharusnya dipertentangan antara hukum adat dengan hukum Islam, Karena kedua-duanya berasal dari ciptaan Tuhan. Maka lahirlah perdamaian antara kaum agama dengan kaum adat berdasarkan rumusan : “adat bersendi sarak, sarak bersendi kitabulah”. (Subari, 2009)
Namun seiring dengan berjalannya waktu Peran lembaga adat kini mulai terdegradasi seiring menguatkan peran pemerintahan formal di Kerinci sejak bergabungnya daerah ini dengan Provinsi Jambi sekitar 50 tahun lalu. Tokoh-tokoh adat umumnya baru muncul ketika pejabat daerah dan pejabat nasional berkunjung ke Jambi. Mereka tampak dengan pakaian khas Kerinci. Namun, selain kegiatan seperti itu, peran tokoh adat seperti tenggelam.( Musnardi, dalam KOMPAS Online Senin, 3 Mei 2010)

Anak murai terbang kesasak
tibo disasak makan padi
dari nenek turun kemamak
tibo dimamak turun kekami.

Begitulah bagaimana seharusnya suatu adat istiadat selalu diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu. Namun saat ini minat para pemuda untuk mendalami aturan adat istiadat semakin menurun. Perkembangan media hibrida seperti smartphone, internet, dll membuat generasi muda di Kerinci semakin individualis, mereka menjadi tidak peka akan lingkungan mereka sendiri. Budaya-budaya barat menjadi panutan bagi banyak remaja saat ini seperti gaya berpakaian yang seba sempit dan terbuka, berbicara dengan mengucapkan kata-kata kotor dan berbicara tidak sopan kepada orang yang lebih tua. Nauzubillahiminzalik
Jika hal seperti ini di biarkan maka selesailah sudah riwayat adat-istiadat Kerinci. Di masa yang akan datang anak-cucu kita hanya akan mendengar cerita tentang adanya adat-istiadat yang “pernah” berlaku di Kerinci tanpa pernah melihat bagaimana wujud real dari norma-norma kesopanan dan adat-istiadat itu.

Coba lihat dua artikel dibawah ini:


Apanya yang “adat bersendi sarak”?? apanya yang “adat bersendi kitabullah”. Bagaimana mungkin kita mempertahankan adat istiadat sedangkan generasi mudanya tidak mempunyai ilmu-ilmu dasar dalam mempelajari adat istiadat. Saat ini secara perlahan tapi pasti adat istiadat hanya akan menjadi suatu formalitas belaka hingga beberapa dekade mendatang.
Kita butuh suatu lembaga khusus yang mengelola lembaga keagamaan dan adat istiadat di Kerinci. Coba lihat! Seberapa banyakkah literatur yang membahas tentang kebudayaan Kerinci? Saat ini memang masih ada buku yang membahas hal tersebut, namun pastilah buku itu berumur lebih dari 20 tahun, kusam, dan sudah tidak jelas tulisannya. Beberapa hasil photocopy dari salinan aslinya pun sudah tidak jelas huruf yang tertera di dalam buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar