Senin, 27 Mei 2013

Segala Cerita antara Kerinci-Bogor

Aku dan Bidik Misi : Segala Cerita antara Kerinci-Bogor

Bismillahirrohmanirrohim
          Kutulis ini bukan untuk mengurai kesedihan, bukan untuk membasahi retina dengan segala butir air mata yang menyala, bukan juga untuk mereka-reka hanya sekedar pemanis dalam rangkaian kata, namun bait-bait kata ini kususun agar tak ada satu kisah yang terlupa, agar ia tetap menjadi mozaik terindah yang pernah ada  menyertai perjalanan hidup ini menyusuri lembah kehidupan yang terselip antara ruang dan waktu yang terjaga, benar-benar menjadi sebuah kenangan yang tak pernah bisa di hapus oleh sejarah dan waktu, sekarang dan kapanpun itu, karena ini semua cerita kita, tentang kita,  Aku dan Bidik Misi.


BIDIK MISI DAN WAKTU
          Bidik Misi.  Jika teringat dua rangkai kata ini, tentu saja aku harus menyusuri ruang waktu yang telah berputar jauh meninggalkanku ke masa sekarang. Waktu yang kaku bak pendulum besi raksasa yang berayun maju-mundur, maju membawa kita melangkah untuk menyelami tiap lembar demi lembar mozaik yang ada, dan mundur seperti aliran air yang hendak bermuara. Terkadang ia akan terbelokkan oleh secuil puing yang beterbangan, kadang lagi ia akan tertiup angin sepoi-sepoi yang membawanya dalam  keheningan.  Entah kini, nanti atau kapanlah itu gangguan kosmis akan menyebabkan aliran anak sungai itu berbalik dari aliran utama menuju ke aliran sebelumnya. dan ketika hal itu benar-benar telah terjadi maka kita akan menemukan diri kita terbawa ke masa silam.
         Masa silam.  Ya masa yang telah tergulung-gulung oleh waktu dengan telah melewati ribuan detik yang terjadi dan masa inilah yang sangat kunantikan, karena masa inilah yang mempertemukan aku dengan kedua kata ini. Masa inilah yang membuatku sekarang menjadi nyata untuk berdiri, dan karena masa inilah yang membuatku percaya akan mimpi dan pertolongan Allah, bahwa tak pernah ada usaha yang tak membuahkan hasil sedikitpun karena semuanya akan terbayar walau ia tak sepenuhnya seperti apa yang kita inginkan. Namun waktulah yang mempertemukan aku dengan kehidupan, waktulah yang mempertemukan aku dengan Bidik Misi. Karena begitulah skenario Allah jauh lebih indah dari apa yang kita bayangkan. Andaikan waktu adalah suatu lingkaran yang mengitari dirinya sendiri. Maka seperti itulah dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya dan selama lamanya.
         Waktu dan Bidik Misi, dua hal yang tak dapat di pisahkan dalam kehidupan, mungkin tidak bagi orang kebanyakan, namun iya bagiku karenaku yakin semua hal di dunia telah diciptakan berpasangan dan ini adalah sebuah pasangan yang pas untuk memulai kehidupan baru, karena waktu aku mengenal Bidik Misi dan karena Bidik Misi aku belajar banyak tentang waktu, belajar menunggu iya menyampaikan pesan terbaiknya, dan menunggu iya memberikan keajaiban dalam dunia karena waktu itu adalah dimensi yang terlihat. Bidik Misi dan waktu. Ah, bagaikan sebuah serenade yang pas melantunkan bait tiap bait syair kehidupan, merangkainya dalam untaian kata. Sekali lagi bukan untuk memperindah dan mempermanis kata dan bukan jua untuk memperpanjang cerita namun inilah segelintar kisah penuh harap karena aku memang cinta dan tak bisa telepas dari keduanya, Bidik Misi dan Waktu.
SEBUAH HARAPAN
          Mari kita kembali ke masa silam, menyelami betapa indahnya kita telah mengarungi kegetirannya.
          Ketika itu tepat jam 10.30 pagi. Bel sekolah dibunyikan pertanda waktu istirahat telah datang, aku ketika itu memang masih terlihat polos ketika SMA setidaknya aku merasakan sendiri. Hanya berani mengangguk, diam dan tanpa banyak bicara. Ketika seluruh isi kelas telah berhamburan menuju surga perut mereka, memenuhi tiap kantin dan warung-warung kecil yang ada di sekitar sekolah. Aku masih mematung di sudut kelas. Memang begitulah aku, penuh kemisteriusan kata orang-orang. Kubuka bekal yang kubawa dari rumah, sepotong telor mata sapi dengan sedikit sambal terpampang di atas bulir-bulir nasi yang menyergap minta dimakan. Ini memang kebiasaan ku tiap hari membawa bekal dari rumah, hitung-hitung buat penghematan, toh uang jajan bisa untuk di tabungkan, lagian masakan ibuku tetaplah yang paling lezat sedunia apapun itu, walau hanya sepotong telor dadar, ada cinta dan kasihnya yang melekat disana yang menyiratkan sebuah harapan untuk selalu hidup sederhana. Tak jarang ada yang mengejekku karena sudah sebesar ini masih saja membawa bekal dari rumah. Ah, tak peduli aku, mereka juga tidak mengerti bagaimana kondisiku.
         Ketika sedang dengan enaknya melahap masakan Ibu, datanglah teman sekelasku menghampiri, sebut saja Adi. Dia mengatakan bahwa aku dipanggil oleh guru BP, sebut saja pak Hamzah. Tentu saja aku kaget ada apakah gerangan? Karena beliau terkenal sedikit galak, aku pun memikirkan apa kesalahan yang telah ku perbuat, ah, sudahlah kataku toh jika tak salah apapun mengapa harus takut pikirku. Aku pun melangkah menyusuri koridor kelas yang dipenuhi anak-anak yang sedang bergurau memamerkan tawa menikmati masa muda  yang indah. Tanpa beban sekali terlihat, terasa bahwa jalan di depan mereka sudah sangat lurus kemana arah yang harus mereka tuju, hanya tinggal memikirkan bagaimana caranya untuk memantapkan diri berjalan di atasnya, sedangkan aku harus meruncingkan otak setiap hari meyakinkan diriku bahwa akan ada suatu jalan paling benar yang akan ditunjukkan Allah padaku, tentang kemana aku akan terdampar setelah tamat dari bangku sekolah ini. Ah, elok sekali tawa mereka ingin kumenumpang menyumbang canda, namun kutahu waktuku jauh lebih berharga dari pada itu, kapan ku bisa seperti mereka? Biarlah waktu yang akan menjawabnya.
          Setelah di ruang beliau, dunia terasa berputar, banyak senyum yang merekah di dalamnya, senyum yang mekar bagai mawar liar di musim semi. Aku pun semakin bingung ada apa lagi ini. Jarang sekali kulihat beliau tersenyum seperti ini. Selain beliau, juga ada wali kelas, beberapa guru dan tentu saja Kepala Sekolah yang sangat menyayangiku hadir di dalamnya. Sayang? Entahlah aku tak dapat  membedakan antara rasa sayang dan iba. Bapak Hamzah tanpa berlama-lama langsung mengutarakan alasan beliau memanggilku, bergetar bibir ini kelu tak dapat berucap. Setelah sekitar 10 menit mendengarkan dan menjawab pertanyaan beliau, sampailah kepada satu titik yang menghubungkan aku dengan dunia luar, yang membuat harapan dan cita-cita ini kian melayang, melalang buana menyusuri tiap ruang yang ada seolah-olah ingin bercerita pada dunia bahwa anak seorang tukang ojek dan penjual lontong ini masih ada dan ia akan menjemput dunia lebih cepat dari apa yang mereka harap, menepis segala keraguan bahwa mimpi besar tak boleh di punya oleh si miskin. Ya, lagi-lagi waktu yang telah menjawabnya bahkan terlampau lebih cepat dari apa yang kita harapkan.
          Setelah menunggu hasil seleksi yang cukup lama, aku dinyatakan diterima untuk melanjutkan perjuangan hidupku di kota hujan. Kota yang sebelumnya tak pernah ku impikan. Diterima di Fakultas Pertanian Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor. Dunia terasa sangat indah hari itu, jabat tangan dengan para guru yang tak kalah bahagia karena ada satu diantara muridnya yang berhasil menembus hidup untuk mengadu nasib dan ilmu di Pulau Jawa. Kupeluk erat mereka bahwa akhirnya do’aku diijabah oleh Allah. Bahwa perjuangan mereka untuk memperjuangkanku untuk mendapat beasiswa agar dapat terus sekolah tak percuma,  tak sekedar dibawa angin lalu yang hanya menyisakan air mata.  Terpancar banyak harapan di mata mereka berbinar bak surya di sore hari ketika ia menyemburat senja, memamerkan senyum sumringah,bersama sekawanan camar ketika ia hendak menjemput malam. Ada banyak harapan yang tersirat agar selalu ada cahaya penerang malam. Begitu juga dengan harapan mereka, karena rata-rata lulusan dari sekolah ini hanya segelintir saja yang dapat menimba ilmu di negeri seberang.
          Karena jika dilihat dari apapun itu secara kualitas dan kuantitas memang sekolah kami kalah dari sekolah tetangga sebelah, namun secara perjuangan sekolah kami jauh lebih menang. Bagaimana tidak, bangunan bertingkat dua ini sudah sangat rapuh dengan lantai kayu yang menua, besi-besi yang telah karatan bahkan meja yang telah berlubang-lubang pun masih setia hidup bersama kami mengarungi hari. Namun ia tetap berdiri kokoh sekokoh pendirian kami, teguh seteguh mimpi-mimpi kami. Rata-rata siswa di sekolahku adalah anak-anak yang secara ekonomi tingkat menengah kebawah, berbeda sekali dengan tetangga sebelah yang mentereng dekat cat warna birunya, memedar keemasan jika sore hari tiba, bersih dengan gerbang nya yang menjulang. Tidak masalah, toh ilmu yang kita dapatkan tetap sama bukan? Hanya niat yang membedakan kita.
           Namun di tengah euforia itu, aku terdiam sejenak memikirkan bagaimana dengan uang kuliah nanti, di perguruan tinggi sekelas IPB tidaklah murah, kemana harus kucari? Sangat tidak mungkin jika berharap dari orangtuaku, tak ingin aku menambah beban mereka. Harapan itupun mulai sedikit memudar, karena jauh hari sebelum mendaftar ibuku telah mewanti-wanti bahwa tak ada uang untuk kuliah, hanya tekadku saja yang terlampau kuat mengantarkanku pada mimpi-mimpi ku untuk kuliah di Jawa. Terlepas dimanapun itu, untuk formulir saja yang seharga dua ratus ribu rupiah aku harus membongkar  semua tabunganku selama SMA. Oh Tuhan, secepat inikah waktu mengambil bahagia ini kembali?
          “Lho kok jadi bingung gitu? Semangatlah calon anak Bogor. Hahaha..“, kata pak Hamzah dengan sedikit tawanya. Beliau ternyata melihat kebingungan yang kurasa.
         “Hmm.. Mau nanya pak, biaya nya berapa ya pak? Untuk daftar ulang dan SPP tiap semester?”,dengan sedikit tergagap-gagap aku memberanikan diri bertanya pada beliau.
        “Oh iya, Bapak lupa menyampaikan, kamu mendapatkan beasiswa Bidik Misi jadi biaya kuliah kamu nol rupiah, dari pendaftaran awal sama uang spp tiap bulan, selama 8 semester,“ jawab pak Hamzah. Aku masih ingat betul rangkaian kata yang diucapkan pak Hamzah ini
      “Selain itu kamu juga bakal mendapat uang bulanan sebesar enam ratus ribu rupiah tiap bulannya.”, sambungnya.  “Masih ingin tidak semangat?”, lanjut beliau.
       “Itu apakah sudah pasti saya mendapatkannya pak”aku ingin mempertegas lagi bahwa yang kudengar ini tidak salah.
        “Iya benar,nanti bakal ada seleksi lagi. Namun bapak sudah sangat yakin kamu bakal mendapatkan beasiswa ini, kami akan memperjuangkanmu nak”jawab pak Hamzah lagi.
         Aku hanya terdiam, tak tahu entah apa lagi yang harus kukatakan, aku tak tahu ekspresi saat itu apakah sedang sedih, tertawa atau entah apa,yang ingin ku tahu bahwa semoga apa yang dikatakan pak Hamzah itu adalah benar adanya. yang ingin kutahu dunia sedang sangat baik menyambut kedatangan ku, sebegitu cepat pertolongan Allah menghampiri, dan begitu cepat waktu menjawab harapanku kembali. Dunia semakin indah saja. Tak lupa aku sujud syukur akan semua yang terjadi hari ini akan semua hal yang tak terduga, pertolongan Allah datang dari sebuah beasiswa yang bernama Bidik Misi yang tak pernah kusangka ternyata ia yang akan bersamaku dalam mengarungi petualangan mimpi ini selanjutnya.  Harapan itu kini menjadi nyata tak hanya menjadi bingkai kisah pelipur duka. Dengan semangat yang membara kutekadkan diri menjelajah dunia, seperti mimpi yang pernah ku ceritakan pada teman-teman dan guruku di depan kelas dahulu. Bahwa aku tak akan pernah malu karena aku akan mewujudkannya menjadi nyata. Walau memang terlampau banyak suara-suara yang melemahkan namun ketangguhan hati akan mengalahkan segalanya.
PENGEMBARAAN KERINCI-BOGOR
         “Dari sini kujelajah dunia hingga sampai di batas cakrawala”
         Kususun rangkaian kata itu sembari menengok rumah mungil tempat kediamanku ini, ku tatap ia dalam-dalam. Rumah yang hanya berukuran 3x9 m dengan satu kamar tidur ini, sebagai saksi bisu kisah perjalananku, hari-hari kujalani disini bersama orangtua dan adikku. Rumah di pinggiran jalan raya yang berdiri di antara rumah-rumah megah di sebelahnya ini lah yang menjadi tempat keseharianku mengukir mimpi-mimpi indah di tiap dindingnya yang tak terlalu kuat, dinding bata tanpa semen dan cat inilah yang sering kali kugunakan untuk menempel keping-keping kertas yang berisi semangat dan harapanku, bukan hanya di dinding namun juga di atapnya, ruang kecil yang sempit ini terasa luas seluas dunia yang ingin kulihat.
        Waktu berlalu tanpa mau menunggu hari, setiap detik pun telah kuhabiskan di desa pinggiran Sumatera ini, lembar demi lembar daun telah berguguran seiring berganti senja, hanya tinggal memupuk kenangan dan peristiwa yang telah terjadi tiap tarikan nafas yang ada. Hingga 21 Juni 2010 pun tiba. Aku harus meninggalkan rumah kecil tercinta ini, memulai mengarungi samudera kehidupan dengan biduk layar seadanya. Setelah meyakinkan kedua orangtua, keluarga dan tentu saja meyakinkan diriku sendiri. Hari itu untuk pertama kalinya aku akan menginjakkan langkah ke luar sumatera meninggalkan kerinci tempat kelahiran dan tumbuhku. Bukan untuk waktu yang cepat namun dalam rentang waktu entah kapan lagi aku akan kembali.
         Kumasuki bus yang akan mengantarkanku ke Jakarta. Tak lupa ku perhatikan sekelilingku dengan seksama, rumah mungil itu, orang-orang yang mengantarkan perjalananku, semua melambai tangan menderu-biru bagai angin yang kesepian karena telah ditinggal hujan, menitikkan bulir kristal yang tertanam ke bumi, semerbak harapan-harapan pun kembali menyeruak di dalam dada, kutatap kembali mata mereka, seperti para guruku banyak sekali secercah harapan yang kulihat disana. Ya, aku pergi dengan membawa sejuta mimpi mimpiku dan juga berjuta mimpi mereka yang membuatku tetap dapat bermimpi hari ini. gunung Kerinci tak luput melambaikan tangan dari puncaknya yang menjulang, mengintai perjalananku, melepas dingin pagi yang selalu di pancarkannya ketika fajar menyingsing. Aroma padang teh di sekelilingnya mengikutiku bersama samar aungan harimau sumatera yang telah hampir tiada. Semua seolah hampir tak percaya, anak pegunungan yang sering di cap “tukang mimpi” ini akhirnya akan memulai jejak baru menyusuri ruang waktu meninggalkan lembah bukit barisan yang selama ini sebagai tempat berdiam diri menuju sebuah kota yang tak pernah terbayang sebelumnya.
          Pengembaraan dimulai, menyusuri tiap jengkal tanah bersama deru mesin ini, menyusuri tiap aspal yang kini sudah mulai berbeda dengan tempatku, tak ada lagi jalan berlubang dengan genangan air di dalamnya. Kini kami sampai di jalan raya Sarolangun kabupaten di sebelahku. Aku hanya ditemani oleh seorang kakek dan keponakan ku, kakekku memang sosok luar biasa, mungkin karena terlalu kasihan jika melihatku berangkat sendiri, maka ia pun menemaniku dalam perjalanan sampai di jakarta.
           Cukup sedih memang ketika teman-teman lain diantar oleh kedua orang tua mereka, aku hanya ditemani seorang kakek dan keponakan. Tapi tak apa, kelak suatu hari kan kubawa mereka menuju tempat yang sama hendak kucapai ini.
          Malam pun menjelang, tak terasa sepuluh jam perjalanan telah dilalui di dalam bus, cukup pegal rasanya namun ini adalah suatu rangkaian pengembaraan yang harus dinikmati tentunya. Hingga sampai jam 21. 20 WIB kami sampai di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Mulailah para pengamen yang menamakan dirinya para musisi jalanan beraksi menaiki bus kami untuk menyumbangkan suara  emas nya, aku masih tertidur ketika itu, jalanan yang kami lalui cukup sepi untuk sebuah kota di pinggiran hutan. Tak ada lampu jalanan yang menghiasi, yang ada hanyalah pohon-pohon besar dan pohon sawit di sisi jalan, hanya bercahayakan temaram bulan yang cukup indah malam itu. Malang tak dapat di tolak, diluar dugaan yang pernah ada. Hingga tak lama kemudian terdengarlah suara jeritan dari kursi paling belakang bus, hentak saja sang sopir langsung menghentikan bus yang tengah melaju, namun ternyata itu bukan pilihan yang tepat, karena dari pintu paling belakang masuklah kira-kira sepuluh pria yang memakai penutup muka sehingga wajahnya sama sekali tak kelihatan. menyatu bersama gelap.
         Gadis di kursi paling belakang itu ternyata tengah di todong oleh seorang pengamen yang bertubuh kekar. sontak seisi bus kaget dengan jeritan itu, kepanikan pun tak dapat dihindari, perampok yang ternyata menyamar sebagai pengamen itu langsung menjarahi semua barang-barang yang ada pada penumpang, termasuk tas ku yang berisi dokumen-dokumen penting untuk pendaftaran ulang nanti termasuk juga surat keterangan penerima Bidik Misi ada disana, aku tak kuasa melawan, karena memang akan kalah dari segi apapun, baik postur maupun kekuatan, para penumpang lain juga sama mereka hanya dapat menahan rasa takut dan kesal, para perampok itu memakai sebilah pisah masing-masingnya untuk menyergap kami. Seumur hidup baru kali ini aku merasakan bagaimana rasanya ditodong pisau dengan perampok yang asli, bukan rekaan yang biasa hanya kulihat di layar kaca.
          Bus kami rata-rata memang diisi oleh para gadis muda, ibu-ibu serta bapak-bapak yang telah lanjut usia seumuran dengan kakekku, tujuan mereka rata-rata untuk berdagang di Jakarta, sehingga jika mengadakan perlawanan pun percuma, hanya menyumbang nyawa pada mereka. Daerah ini memang terkenal rawan karena jalur panjang yang jauh dari keramaian dan pemukiman penduduk. Aku hanya bisa pasrah, bagaimana pula nasibku selanjutnya, apakah pihak IPB akan tetap menerimaku sebagai mahasiswa barunya dan juga sebagai penerima Bidik Misi tanpa berkas-berkas pendukung lainnya, apakah mereka bisa percaya dengan cerita yang akan kuceritakan nanti sebagai bukti kehilangan? Entahlah, yang jelas pada saat itu aku benar-benar putus asa, namun aku tak ingin menangis, karena tak ingin kakekku tahu bahwa tas yang dibawa rampok itu berisi dokumen semuanya, kupasrahkan semuanya pada Allah jika memang aku telah ditakdirkan untuk kuliah di IPB dengan Bidik Misi-ku maka aku yakin akan ada cara pertolongan Allah dari segala arah.
         Malam semakin merangkak pelan, sedangkan bulan sabit masih terlihat indah melengkung di kaki langit, memedarkan cahaya terpantul antara bias air di muka tanah. Ketika para kawanan srigala malam rampok itu satu persatu keluar dari bus kami. Dari arah yang sama ternyata ada dua bus yang sedang bergerak , spontan saja sopir kami berteriak dalam dialek kerinci desaku “Rampok, rampok, tuluah kamai, golo-golo bareang di amik, tuluah” dengan kencangnya. yang dalam bahasa Indonesia berarti “Rampok, rampok, tolong kami, semua barang di ambil tolong”. Para penumpang lain pun ikut berteriak agar bus-bus itu berhenti.
          Kawanan rampok itu kelabakan karena bus itu semakin mendekat, para penumpang pun memberanikan diri turun dari bus mengejar kawanan maling, karena percaya akan ada pertolongan bus dari belakang itu. Benar saja karena bawaan yang terlalu berat sebagian rampok itu melepaskan hasil rampokan mereka agar bisa berlari lebih cepat dan langsung berlari ke tengah padang sawit yang sangat luas itu. Para penumpang pun, langsung menyergap barang-barang itu berharap ada barang mereka disana. Dan nasib baik ternyata belum ingin menghindar dariku, tasku yang berisi dokumen Bidik Misi itu salah satu yang terlempar di jalanan. Kembali kuucapkan terimakasih pada Allah atas pertolongan yang tak henti ini, namun sayang tas kakekku yang juga dibawa rampok tak ditinggalkannya. Aku hanya dapat menghela dada, atas kejadian yang barusan aku alami tak pernah terduga sebelumnya. Allah masih membuka jalan untukku kuliah di IPB dengan beasiswa Bidik Misi.
          Setelah kejadian itu, ketiga bus pun jalan beriringan untuk menghindari hal seperti ini. kewaspadaan mutlaklah harus dimiliki setiap orang yang ingin bepergian melintasi kawasan ini.
          Seperti angin badai di padang sahara, kita tak melihatnya namun kita dapat sedikit merasakannya. Merasakan segelintir peluh yang bercucur hangat saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun atau aungan keras gelombang di samudera lepas. Tak dapat mencegahnya mengalir seperti aliran sungai yang hendak bermuara, namun jua tak dapat membuatnya tenang tertampung dalam telaga. Seperti itulah waktu. Ia mengalami siklus singkat yang tak dapat kita cegah. Ia mengalir hingga telah mencapai satu titik temu dimana semua akan menyatu.
          Tak terasa ratusan puluhan kilometer tanah telah terlewati, mengarungi selat sunda yang menyisakan kehangatan, tertampung di dermaga baru pemisah pulau yang kami diami. Setelah sampai di pelabuhan merak, sebelum melanjutkan kembali perjalanan kami menuju Cililitan. Bus berhenti untuk sejenak melemaskan otot-otot pinggang yang telah menegang karena duduk berjam-jam dalam  bus. Aku memutuskan untuk ke mushola yang terletak pas di samping rumah makan disana. Kutaruh tas di dalam mushola sedangkan aku keluar untuk mengambil wudlu. setelah shalat. Entah karena memang sedang sangat mengantuk saat itu setengah kesadaranku belum pulih benar, mata terasa ada yang menyangkut disana: berat sekali untuk membuatnya tetap terbuka. Aku langsung mengambil tas yang ada didepanku, kemudian shalat dan bergegas menuju bus kami karena pak sopir telah membunyikan klakson pertanda bus sebentar lagi akan berangkat.
         Ketika  di dalam bus ketika perjalanan mulai memasuki arah Jakarta, aku tersadar ternyata tas yang kubawa ini bukanlah tas ranselku, isi-isinya berbeda, namun bentuk tasnya hampir sama, kuperiksa lagi dokumen-dokumen penting yang ada di dalamnya, dan benar ternyata ia tak ada, surat keterangan Bidik Misi  sudah benar-benar raib. Kembali rasa cemas ini datang, apalagi ini. Kemanakah semua lembaran-lembaran kertas itu, apakah telah diambil orang? Ah, tapi apakah ada orang yang menginginkan itu, apa kepentingan mereka, ia sama sekali tak bisa diuangkan. Kuperiksa tas satu lagi yang berisi khusus dokumen untuk mendaftar sebagai mahasiswa baru dan ternyata masih ada. Memang setelah kejadian tempo hari aku sengaja memisahkan kedua dokumen ini agar jika pun terjadi lagi iya tidak hilang berbarengan. Dan sekarang kejadian itu terulang lagi dengan skenario dan jalan cerita yang berbeda pula ternyata. Ya Allah bingung ini kembali menyergap kemana harus kucari Bidik Misiku? Jika pun nanti setelah registrasi aku menjadi mahasiswa IPB bagaimana aku harus membiayai semuanya?
         Dalam kebingungan aku tetap memohon pada Allah agar tetap diberi kemudahan dan dilancarkanlah semua urusan ini. Sementara itu angin masih merisau di luar sana berkicau-kicau bagai burung yang hendak memulai kehidupan pagi hari. Terhimpit ruang bersama deru mesin yang bergerak semakin kencang di atas jalanan kota Jakarta. Berguguran bersama ribuan butir atom yang kembali terhujam ke muka bumi terjun dari langit yang semakin kelam menampakkan kegelapannya. Megah sekali lihatku, bangunan-bangunan yang menjulang, berdiri kokoh di samping kiri dan kanan jalan. Sama sekali tak ada di kerinci. Perbedaan yang drastis kataku. Ya, inilah Jakarta, dengan segala hingar bingarnya.
         Bus sebentar lagi akan menepi. Akan berlabuh kedalam sarangnya setelah tiga hari dalam perjalanan yang menguras emosi. Bak burung yang akan mencapai sarangnya, iapun menambah kecepatan nya agar sesegera mungkin  sampai. Sementara itu aku masih kebingungan di atas bus, jika ini bukan tas ku lantas siapa kah yang memiliki barang-barang ini dan kemanakah tas ku yang sebenarnya. Aku kembali memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi aku tidak akan bisa kuliah tanpa bidik misi. Namun lagi- lagi aku ingat bahwa pertolongan Allah akan datang dari segala arah yang tak terduga dan ternyata benar saja, selang beberapa menit ketika hendak keluar dari bus, seorang bapak-bapak menyapaku,
        “dek, kayaknya tas kita tertukar deh, coba kamu lihat ini, isinya punya kamu bukan?”,bapak-bapak itu menyodorkan tas nya padaku.
         Langsung saja ku sambar bak kilat yang ingin segera menyambar langit tanpa aba-aba sedikitpun. Sementara itu orang-orang mulai berdesakan untuk turun aku memilih untuk menepi dan memeriksa barang dari tas bapak tadi
“Oh iya pak, ini tas saya, dokumen-dokumen yang saya cari, ko ada sama bapak ya?”aku menyambutnya dengan girang.
         “Mungkin kemarin salah bapak dek, ketika di mushola buru-buru mau keluar jadi salah ambil tas, ini sama kan tas nya?”balas sang bapak.
Terlihat kedua tas kami memang hampir sama.
       “okehlah pak terimakasih ya pak , untung sekali sudah ketemu pak, saya bingung mencarinya kemarin ko bisa sampai hilang” balasku lagi.
       “iya sama-sama selamat menjadi mahasiswa ya dek, hehe bapak duluan”katanya
(percakapan ini dalam bahasa kerinci )
           Setelah berjabat tangan, bapak itu pun turun lebih dahulu dari bus sedangkan aku masih di dalam kembali memikirkan, sungguh kuasa Allah sangat lah besar, . Sudah dua kali hampir dokumen bidik misi ini hilang, namun ia selalu kembali dalam waktu yang tepat, setelah sampai di tempat pemberhentian di Cililitan. Perjalanan dilanjutkan ke rumah saudara yang ada di Bekasi lalu ke Bogor bersama kakek dan keponakan serta paman yang telah sebelumnya menjemput kami di Cililitan. Allah memang memberikan kesempatan aku untuk menunaikan segala mimpi dan harapan bersama beasiswa Bidik Misi. Entahlah apakah Allah sedang menguji kesabaranku, atau Allah sengaja memberi pesan agar menjaga amanah ini dengan baik. Karena Bidik Misi ini adalah amanah dari jutaan rakyat Indonesia yang mungkin tak mendapatkan kesempatan seperti ku, aku mewakili mereka sebagai anak muda yang di beri kepercayaan dan menangggung amanah demi perbaikan bangsa nantinya.
         Sungguh indah sekali skenario Allah yang telah dijalankan nya. Ia mengalir bak banjir yang sangat deras. Kita tak kuasa mencegahnya. Kita hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai yang ada. Menjamah bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Kita hanyalah setitik kecil tak ada apa-apanya dihadapan-Nya. Dalam sekejap ia akan merengkuhnya kembali dalam kelembutan . Begitulah skenario Allah ia ditakdirkan jadi makna paling sederhana yang menyimpan kekuasaan besar. Aku pun semakin sadar bahwa disetiap kesulitan pasti ada kemudahan. Allah pun pernah mengatakan hal itu dalam wahyu nya dalam Al-quran.
        Bidik Misi. Ah,banyak hal yang telah kulalui bersama mu, banyak cerita yang belum tersampaikan selama pengembaraan Kerinci hingga mencapai Bogor ini. Bersyukur tak henti-hentinya kulakukan karena menjadi salah satu dari ribuan mahasiswa lain yang menerima mu. Sekarang aku melangkah dengan pasti. Aku harus berprestasi melebihi orang-orang kebanyakan. Dengan menyandang predikat mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi aku tidak akan mempermalukanmu. Aku akan melalang buana lagi melakukan pengembaraan yang tak henti. Menunjukkan pada dunia bahwa kami orang-orang kecil juga akan bisa berkarya melebihi manusia rata-rata. Bersamamu Bidik Misi. Ya, seperti yang pernah ku ucapkan:
      “Dari sini kujelajah dunia hingga sampai di batas cakrawala”
                                                              ***
         28 juni 2011. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota hujan,Bogor. Dan semua keletihan terbayar sudah. Bukan hanya aku,namun juga kakek ,keponakan, tante dan juga semua keluarga dari Bekasi yang mengantarkanku. SELAMAT DATANG PUTRA PUTRI TERBAIK BANGSA. Aku masih ingat sekali spanduk besar itu banyak tertampang di penjuru kampus. Ada sedikit rasa bangga bahwa ternyata aku adalah salah satu daru putra-putri terbaik bangsa yang ada disini,yang mempunyai kesempatan untuk mencicipi indah rasanya di kota hujan. Aku akan berjuang. Dan Biarkanlah waktu yang akan menjawabnya.

Penulis : Yoni Elviandri, Mahasiswa Arsitektur Lanskap IPB Angkatan 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar