Oleh
: Yoni Elviandri/Arsitektur Lanskap 47
“Karena dari sini kujelajah dunia hingga batas
cakrawala”
Kawan, aku ingin kembali berbagi
cerita. Tahun lalu kusampaikan padamu bagaimana perjalananku untuk menjadi
salah satu mahasiswa di kampus ternama Institut Pertanian Bogor. Sebuah
rangkain kata yang dulu nya memang hanya sebatas mimpi. Dan sekarang aku disini
bersama mimpi-mimpi ku yang kubawa dari lembah kasih Bukit Barisan. Membahanakannya
di langit kota hujan, sehingga nanti kurangkai kembali menjadi mozaik-mozaik
terindah yang akan kupersembahkan untuk semua pahlawanku di kampung halaman.
Semoga menginspirasimu kawan.
Merangkai Mimpi di Kota Hujan
Faktanya, aku adalah anak kampung
yang hidup di pedalaman lembah bukit barisan. Ayah ku pun hanya seorang tukang
ojek yang tidak pernah menyerah menggapai asa di sepanjang waktu. Ibuku pun
hanya bekerja sebagai penjual lontong di sebuah warung kecil di depan gubuk
kami berada. Jika engkau ingin tahu, rumahku menempati petakan paling kecil
diantara rumah-rumah lain yang berjejer dipinggir desa. Namun, untuk kau tahu kawan,
aku tak pernah malu akan hal itu. Karena bagiku mereka adalah pahlawan yang
luar biasa. Dahulu, ketika aku masih sekolah dasar, aku dicap sebagai siswa
bodoh yang tidak mempunyai harapan apa-apa. Nilai ujian nasionalpun tidak jauh
lebih baik dari mereka yang berkelakuan sama. Namun, itu hanya dulu kawan.
Hanya di sekolah dasar ketika aku masih ingusan. Faktanya, aku berhasil masuk
ke salah satu SMA favorit yang ada di kota, dengan nilai ujian nasional di atas
rata-rata dan juga menjadi salah satu siswa yang selalu berperingkat satu
selama SMA. Dan apakah engkau ingin tahu mengapa? karena aku punya mimpi kawan.
Yang membuatku bahkan terlampau sering dicap sebagai orang gila. Gila dengan
mimpi-mimpi besar yang kupajang memenuhi langit dan dinding kamar. Hingga hari ini,
buktinya jadilah aku salah satu anak desa yang mampu merenda impian di pulau
Jawa.
Dan untuk bisa ada disini
hari ini, bukanlah sesuatu yang biasa. Aku masih ingat ketika itu, untuk sebuah
formulir pendaftaran masuk IPB aku memecahkan tabungan ku selama SMA. Tabungan yang memang telah aku
persiapkan sedari dulu untuk menimba ilmu di pulau Jawa. Keluarga ku pun tidak
ada yang tahu karena dulunya mereka memang tidak merestui keputusan ku untuk
merantau ke pulau Jawa. Namun disini kubuktikan tekad ku kawan. Aku punya mimpi
dan aku tak akan pernah ragu untuk mewujudkannya menjadi nyata. Aku tak pernah
menyerah untuk bisa mendapatkan kesempatan kuliah di IPB . Dan untuk kau tahu
kawan, aku adalah salah satu pemanjat handal. Ku azamkan diri untuk mengais
rizki sebagai bekal nanti bisa hidup di tanah perantauan. Sabtu dan minggu ku
pun kuhabiskan di ladang. Aku menjadi seorang pemanjat cengkeh yang nantinya mendapatkan
bayaran upah hasil pekerjaan ku. Tidak seberapa memang, namun sesuatu yang
dihasilkan dari keringat sendiri itu memang luar biasa nikmatnya kawan. cobalah
kau mencobanya. Waktu berganti
bak seekor unta yang merindukan oase di padang sahara. Pedihnya hidup pun
benar-benar kurasa di tanah perantauan dimana aku tak memiliki sanak saudara. Menjadi
penerima beasiswa Bidikmisi lantas tidak membuatku menjadi manja. Hari-hari pun
kulalui di Tingkat Persiapan Bersama di asrama. Namun, aku memiliki sesuatu
yang berbeda kawan. Mimpiku tak hanya sebatas ini. Kutahu IPB adalah tanahnya
para pemimpi ulung, karya dan prestasi mereka pun telah berkibar seantero
dunia. Maka dari itu, kuniatkan hati untuk tidak hanya sekedar menjadi
mahasiswa biasa. Namun menjadi mahasiswa diatas rata-rata. Yang pekerjaan nya
tidak sama dengan mahasiswa biasa, karya yang dihasilkan pun
Dan selalu harus ada pengorbanan untuk itu. Ku pastikan mimpiku, kembali
kuniatkan di dalam hati. Setelah menempuh masa sarjana di IPB, aku ingin
menjadi mahasiswa pascasarjana di Eropa, di Jerman kawan. Mencari ilmu di
belahan lain bumi Allah. Dan untuk itu, kembali ku siapkan bekal. Ketika TPB
jika teman-teman se asramaku sedang menikmati waktu santainya, maka aku
melaluinya di Jakarta. Akhir pekan ku lalui dengan mencari tambahan biaya untuk
kuliah. Menjadi seorang penjaga toko buku di pasar Senen Jakarta itulah
pekerjaanku ketika TPB kawan. Tak banyak yang tahu memang, karena memang sengaja
tak kuceritakan. Aku tidak ingin hidup dari rasa belas kasihan. Aku ingin hidup
dari perjuangan ku, dari mimpi-mimpiku. Dan ini adalah salah satu cara untuk
itu.
Trayek angkot 01 Pasar senen- Kp
Melayu dan daerah sekitarnya menjadi santapan ku di akhir pekan. Melalui
jalanan berdebu yang terlampau sering menguap seperti bau neraka. Beginilah
kehidupan Jakarta yang sebenarnya dan aku sangat beruntung menjadi salah satu mahasiswa
yang pernah merasakannya. Ketika uang seratus rupiah itu menjadi sangat
berharga dan engkau pun akan tahu betapa susahnya ibu bapakmu bekerja di panas terik
untuk keluarga yang dicintainya. Aku pernah menjadi seorang kernek angkot
kawan, berkeliling selama berjam-jam agar angkot penuh terisi penumpang dan
imbalannya hanya dua ribu rupiah kawan. Begitulah faktanya, Jakarta dan kehidupannya
tidak seindah cerita di sinetron atau televisi yang engkau saksikan.
Aku tak pernah pantang menyerah,
kebetulan pemilik toko buku tempat ku bekerja ku kenal ketika pertama kali aku
menginjakan kaki di pasar Senen untuk membeli buku bekas sebagai bacaan.
Bapaknya sangat ramah, dan ketika ku ceritakan padanya bahwa aku ingin bekerja
paruh waktu untuk membantunya berjualan buku, maka beliau sangat antusias menerimanya.
Imbalannya, ah aku tak pernah berfikir lagi tentang itu. Aku menerima berapa
saja yang akan diberi oleh si bapak. Karena selain mendapat pekerjaan baru, aku
bisa membaca secara gratis sepuasnya di toko itu. Jangan kau bayangkan toko buku
itu seperti di Gramedia atau toko buku lainnya yang tertata rapi dan bersih.
Namun kios buku di terminal Senen tempatku ini hanya terdiri dari beberapa rak
kayu sebagai penyangga, dan selebihnya terhampar di atas terpal. Benar-benar
sangat merakyat.
Seperti samanea saman yang dahannya tak
pernah henti melipur dahaga, atau ketika duri mawar tak lagi berbahaya ketika
kau sentuh. Seperti itu juga dengan aku, mungkin terlalu lelah dengan
rutinitas, aku menghentikan pekerjaan ini hanya sampai di tingkat 2 semester
pertama. Waktu untuk menempuh Bogor-Jakarta cukup menyita. Namun bukan berarti
aku tak pernah lagi menengok pasar Senen, Kp Melayu dan kehidupannya. Aku
selalu menyempatkan waktu untuk berkunjung walau hanya satu kali dalam dua
bulan. Bukan karena aku menyerah dengan kelelahan namun waktu sangat tidak
mendukung untuk hal itu. Karena selepas TPB, masuk kedalam dunia departemen dan
lingkungan baru yang benarbenar begitu berbeda. Arsitektur Lanskap, ya itulah
bidang studi yang aku tekuni sekarang kawan. Dimana akhir pekan tak lagi selalu
bisa kusempatkan untuk ke Jakarta namun selalu tersita dengan tugas-tugas yang
amat mendera.
Aku tahu, nyawaku sebenarnya tak
pernah ada di bidang studi yang aku geluti ini. Aku tak sama seperti mereka
yang sangat jago dalam urusan menggambar sketsa
atau yang sangat lihai dalam komputer grafik mengolah gambar. Namun aku
tak pernah berhenti sampai disini,
jika banyak mahasiswa lain yang
pindah jurusan bahkan pindah universitas, itu tidak berlaku untuk ku. Bukan lah
Yoni Sang Pejuang mimpi yang dikenal orang jika harus menyerah begitu saja. Aku
terus belajar dan memompa diri untuk menyamakan skil menggambarku dengan
mahasiswa lainnya. Lama memang dan tak semudah yang direncanakan, namun disitulah
indahnya perjuangan kawan. Nikmatnya rahmat Allah yang kita lalui ketika
belajar. Aku gemar menulis, bahkan cita-citaku adalah menjadi seorang sastrawan
besar layaknya Taufik Ismail. Terus kuasah kemampuan ku seraya tetap menggeluti
bidang arsitektur lanskap. Alangkah biasa jika seorang penulis besar terlahir
dari fakultas sastra, namun apakah tidak luar biasa jika seorang penulis besar
akan lahir dari seorang yang menggeluti bidang Arsitektur Lanskap dari fakultas
pertanian? Ya, rentetan kalimat itu kujadikan motivasi untuk
Kebutuhan untuk hidup di kota hujan
ini semakin meningkat. Dan sekarang aku telah menginjak semester 5 , biaya
untuk praktikum lapang dan segala macamnya menjadi menanjak lebih tajam. Jika
boleh bermain angka, satu kali praktikum bisa saja menghabiskan biaya sampai
tiga ratus ribu rupiah yang artinya setengah dari beasiswa bidikmisi ku pun akan
terpakai. Sebagai perantau, malu rasanya jika harus merengek meminta uang pada keluarga.
Untuk itu, aku mengikuti berbagai macam kompetisi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Seiring berjalan dengan mimpiku untuk menjadi seorang penulis. Aku ingin
menjadi mahasiswa yang tak biasa. Yang mimpi dan pekerjaan nya melewati batas
logika.
Dan Allah tidak pernah sia-sia untuk
ummatnya yang berusaha, tahun ini aku berhasil memenangkan beberapa penghargaan
dan mengikuti kongress internasional di Korea Selatan kawan. Yang sebelumnya
bahkan tak sempat ku mimpikan. Aku Berhasil Menjadi Juara satu lomba cerita
mini internasional oleh PPI yaman, Juara dua dalam World Congress Of Global Partnership
Korea, Juara tiga menulis artikel tingkat nasional oleh PPWI Indonesia, Juara
dua menulis cerpen tingkat nasional oleh salah satu penerbit ternama, juga
dinobatkan menjadi Mahasiswa kader Berprestasi ke-1 se kota Bogor oleh Salah
satu organisasi ekstra kampus yang aku ikuti. Beberapa buku antologi ku pun
sudah beredar di pasaran. Bahkan Buku Simfoni Balqis telah launching di Yaman
dan Hongkong. Bukan gelar mahasiswa berprestasi yang ku kejar kawan, namun
lebih dari itu aku ingin setiap prestasi ini bermanfaat untuk
Kutulis ini bukan untuk
berbangga diri kawan. Kutulis ini untukmu yang mungkin belum sepenuhnya hatimu
kau kaitkan di almamater tercinta ini. Ku tulis ini untukmu teman yang merasa
mungkin engkau tidak cocok dengan bidang keilmuan yang sedang engkau dalami
sekarang. Tapi untuk engkau sadari kawan, semua keluhan tidak akan membuatmu menjadi
besar, jangan meminta besi jika berlian telah diberikan. Jangan pula kau pinta samudera
ketika lautan telah membuat mu bernyawa, karena mana tahu samudera itu yang akan
membuatmu tenggelam, hilang dari peradaban karena engkau tidak akan pernah tau apakah
engkau masih diberi kesempatan. Maka totalitas lah dalam setiap proses belajar kawan,
cintailah semua yang telah diberikan niscaya dengan itu engkau bisa menghargai
Itu sekilas tentang kisahku, semoga
menginspirasimu kawan. Selamat berprestasi mengabdi untuk negeri iniDan Allah
menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan supaya kamu menjalani jalan-jalan yang
luas di bumi itu (Nuh 19,20)
Di bawah rahmat Allah
Bogor, 27 Oktober 2012
Yoni
Elviandri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar